THE TIME WITH NO NAME, THE SELF WITH NO NAME

Wednesday, September 28, 2005

- Blitz In The Eye .. oh silaunya .. -

Kami dipertemukan entah oleh apa. Hanya sore yang tua dengan kantuk yang nglangut didepan monitor 14". chatting sembarang dengan orang tak dikenal, antara mau dan enggan.
Aku Debu, dia Angin. Siapa yang lebih hebat, kataku ? Kami sama-sama hebat ternyata.
Lalu kami saling bertukar sederetan nomor. Aku meminta puisi, dia memberi puisi. Aku sedih, dia menghibur.
Dan disebuah waktu yang lagi-lagi sore .. disebuah lintasan lari, dibawah menara jam tua, kami bertemu. Dia, dengan rambut kusutnya, aku .. dengan handuk dileher.
Berjalan entah kemana, pembicaraan kecil yang lama-lama menjadi besar ...

Awal pertemanan.

Sampai akhirnya kami tiba di sebuah peristiwa yang bernama perpisahan. Kalimantan - Jawa. Adios amigos. Milan kundera saksi matanya.
Dia pergi, aku pun pergi.
Waktu yang berbeda, pulau berbeda, kehidupan berbeda.
Aku si benalu, dia memberi yang kuperlu. Aku menangis, dia merentangkan tangan. Kadang tidak adil. ah .. anak ingusan.

Tapi persahabatan bukanlah dilihat dari sebarapa banyak pertemuan dibuat. Dari kedalaman rasalah yang utama. Beberapa kali dia mengunjungiku di kota itu .. dengan aku yang semakin lemah tertoreh tragedi. dengan air mata dan darah yang kututupi. Dan seperti layaknya sahabat .. dia mengerti tanpa perlu bertanya. Pelukan yang menyembuhkan, kata-kata penghiburan.

Selang beberapa waktu kemudian, kami bertemu kembali di kota dimana kami pertama bertemu. Aku yang sedang kehilangan peta meminta dia untuk mau menampungku sementara. Bukan hal aneh bila dia mengiyakan. Dia memang pantas bernama teman.

Dan cekikikan tentang lelaki-lelaki yang kusuka, berlanjut ke cerita patah hatinya dia terhadap seorang wanita cantik kebangsaan itali. Cintanya di hutan, pelabuhan, ciuman pertamanya, sampai ke perpisahannya. Seperti biasa kami akan bersedih-sedihan berdua. Lalu aku akan memasak untuknya, sementara dia menonton tv atau mendengarkan mp3.

Kadang dia kecewa padaku, aku tau. Kecewa terhadap benteng di sekitarku.
Aku bukan tukang batu, kataku. Aku tidak mampu menghancurkannya sendiri. Aku perlu bantuan orang lain untuk menghancurkannya.
Dia diam, masih kecewa.
Oke, mungkin aku akan coba meruntuhkan dinding ini sendiri. Tapi sabar ya ...

Waktu berjalan. Kehidupan kami jungkir balik. Tak ada rupiah tersisa di saku kami. Frustasi dan kebingungan. Uang si dewa durjana mencari gara-gara.
Aku memutuskan pergi kembali, entah untuk apa. Mencari uang ? Tidak juga. Yang jelas kaki ini harus bergerak sebelum lumpuh dan mati rasa.
Kami kembali terpisah. Cuma sesekali bertemu di dunia maya. Sulit bersentuhan.

Kabar terakhir tentang dia, kudengar dia sedang asik berlari-lari kecil melintasi jembatan ampera . Lalu menyusuri sungai mencari bebatuan.
Beberapa kali menelponku dari rawa-rawa dengan antena pemancar menjulang tinggi, menanyakan kabar dan menceritakan kebodohan. Setelah saling melempar rasa kangen, janji temu pun dibuat .. mungkin disebuah pelabuhan. Entah kapan.

Cuma berharap .. kamu baik-baik saja, Dala.

0 Tamparan Penuh Cinta:

Post a Comment

<< Home