THE TIME WITH NO NAME, THE SELF WITH NO NAME

Sunday, October 16, 2005

Aku ingat sewaktu aku terapung diatas perahu kertas itu. Berlayar menuju rahim ibu. Didepan gelap gulita, aku ketakutan. Padahal Tuhan melarang untuk menoleh kebelakang.
Air sungai ini keruh, Tuhan. Aku bahkan tidak bisa melihat dasarnya.
Untuk apa kamu tahu ? Jawab Tuhan. Kamu harus terbiasa melihat keruh. Karna itulah warnamu kelak.
Aku deg-deg-an.
Siapa orang tuaku kelak, Tuhan ?
Telah kupilihkan wanita bijak untuk menjadi ibumu, nak.
Tuhan tersenyum.
Lalu siapa ayahku ?
Kamu akan menemukannya di setiap makam yang kamu temui. Dia terkubur ditanah merah bersama belatung dan semut, bertabur bunga kamboja yang layu dan nyaris busuk.
Dia mati ? Kenapa aku tidak boleh mengenal dia ?
Kelak kamu akan mengerti, bahwa ada banyak hal yang lebih baik tidak diketahui, anakku. Biarkan. Jangan cari tau. Misteri menyelamatkan hancurnya hati. Berterimakasihlah pada ketidakpahamanmu.
Aku diam, takut untuk bertanya lebih banyak.
Ketika aku masih termangu dengan jawaban Tuhan, air mulai membasahi dasar perahuku. Perlahan melubangi dan menenggelamkanku.
Jangan panik. Suara Tuhan sayup-sayup menenangkanku.
Aku tenggelam semakin dalam.
Terombang ambing dalam darah dan air ketuban.
Kemudian kulihat celah bercahaya didepan sana. Aku berusaha berenang ke arahnya, dan menerobos memasukinya.
Dan aaahh .. lampu-lampu sorot menyilaukan mataku. Udara dingin menyergap kulit telanjangku. Dan tangan-tangan asing meraih tubuhku. Aku pun menangis sejadi-jadinya.
"Wah ... cantik ya, kaya mamanya .."
Aku menoleh.
Wow !! Tuhan memang punya selera yang bagus.
Mama yang cantik tampak berpeluh, tangannya terulur menggendongku.
Tangisku semakin pecah, aku bahagia.
"Anak haram lahir juga .." Suara lelaki. Sudah pasti bukan ayahku dong. Ayah kan mati. Ada di makam bersama belatung.
Lagipula .. ayah tidak terlalu penting .. selama ada mama .. :)

0 Tamparan Penuh Cinta:

Post a Comment

<< Home